Dosa apa yang telah aku lakukan sehingga kini aku terhempas oleh siksa
yang mulai aku nikmati ini? Mencintaimu, seperti berdiri di antara dua
arah ketika gempa terjadi, perlahan gempa menyeret arah menuju
pijakanku, dan tubuhku mulai melapuk seiring melapuknya kedua arah itu.
Ketika aku mengalihkan pandangan untuk merindukan kebebasan dari penjara ji...wamu
yang kotor, yang selalu menciptakan penderitaan, kau begitu kokoh
melumpuhkan arah perjalanan yang aku dambakan. Bahkan kau membunuh
kebenaran dengan kebohongan yang kau ciptakan. Mataku mulai
berair saat pintu kemustahilan kau ciptakan di hadapanku, aku berdiri
terpaku dalam desakan nafas yang tersengal, antara keberanian dan rasa
lelah yang menyelimuti tonggak pernafasanku, mencekik hebat kerongkongan
yang memindahkan seluruh udara yang menuju paru-paruku. Sekali lagi,
aku tetap menikmati penderitaan ini.
Kini, memasuki beberapa
langkah sejak penderitaan itu menjadi candu, aku mulai berusaha mengubur
wajahmu dan menanam karaktermu. Tapi tangan Tuhan telah mengikat jiwaku
dengan keberadaanmu, sehingga setiap wajah yang aku kubur, selalu
berganti dengan wajahmu yang berbinar seperti rembulan dan setiap
karakter yang aku tanam, selalu berbuah dengan buah yang lebih banyak
dan mengikat kerinduanku pada sosok dirimu, walau kau terus menciptakan
penderitaan demi penderitaan di setiap jengkal kehidupanku.
Aku
harus berjalan, aku tak mungkin terjebak di gerbang jiwamu,
perjalananku masih panjang, hamparan karunia Tuhan masih luas di
seberang sana. Namun seluas apapun bumi, jika hati terasa sempit, apakah
tubuh ini bisa berjalan tegap? Atau harus memaksa tubuh meski dengan
secuil jiwa atau mungkin lebih kecil? Tidak, tidak…. Aku tidak bisa.
Tapi ketegaran jiwaku yang selalu bersinar ingin mengalahkan jiwamu yang
kotor dan meraih kerinduan jiwaku demi kebebasan abadi dalam hidupku
nanti.
(Bukit Keheningan, Honaratus Pigai.)
Sumber: http://www.facebook.com/pages/Puisi-Papua/434563689917061
Senin, 18 Maret 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar